twitter


DAYA SAING

Perusahaan yang tidak mempunyai daya saing akan ditinggalkan oleh pasar. Karena tidak memiliki daya saing berarti tidak memiliki keunggulan, dan tidak unggul berarti tidak ada alasan bagi suatu perusahaan untuk tetap survive di dalam pasar persaingan untuk jangka panjang. Malecki, E.J. and Oinas dalam Tarigan  (2009) memberikan definisi, daya saing merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya. Definisi tersebut di elaborasikan lagi oleh European Commission (1999) yang menyatakan,
Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal.
Sedangkan daya saing dari sudut pandang global dapat dilihat dari 12 indikasi (Martin dalam Kementerian Pertanian, 2014) yaitu 1) kelembagaan, 2) infrastruktur, 3) lingkungan makroekonomi, 4) kesehatan dan pendidikan dasar, 5) pendidikan tinggi dan pelatihan, 6) efisiensi pasar barang, 7) efisiensi pasar tenaga kerja, 8) pengembangan pasar keuangan ,9) kesiapan teknologi, 10) ukuran pasar, 11) kecanggihan bisnis dan 12) inovasi. Kemudian, keadaan daya saing indonesia semakin rentan menjadi pasar karena daya saing yang rendah akibat buruknya infrastruktur. Peringkat infrastruktur Indonesia 61, relatif buruk dibandingkan dengan peringkat Thailand (47), Malaysia (29), dan Singapura (2). Dalam efisiensi pasar tenaga kerja, Indonesia ada pada peringkat ke-103. Bandingkan dengan negara lain di ASEAN: Filipina (100), Myanmar (98), Thailand (62), dan Vietnam (56). Tingkat efisiensi pasar tenaga kerja anggota ASEAN lainnya dibawah 50 (Tinjauan Kompas, 2015).
Indonesia juga relatif buruk dalam pendidikan dasar dan kesehatan (72), kelembagaan (67), pelatihan dan pendidikan tinggi (64), pengembangan pasar keuangan (60), ketersediaan teknologi (75, serta efisiensi pasar produk (50). Gambaran daya saing level nasional dapat mendeskripsikan keadaan daya saing tingkat regional yaitu di kabupaten lombok utara provinsi nusa tenggara barat yang masih rendah.
Kawasan Nipah desa Malaka Kecamatan Pemenang memiliki kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni. Ini dapat dilihat dari dominan pendidikan yang memiliki profesi sebagai pedagang adalah pendidikan SD. Didukung lagi oleh keturunan atau anak dari pedagang tersebut dominan pendidikan terakhirnya adalah SMA. Hal ini terjadi karena orang tua kurang memiliki orientasi untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, kesuksesan dan kemanfaatan anak diukur dari kecepatan untuk memiliki penghasilan sebagai usaha membantu orang tua. Terlebih, pedagang ikan bakar di kawasan Nipah memiliki perspektif yang baik kedepannya dengan melihat jumlah pengunjung yang datang. Walaupun demikian, tanpa pendidikan yang tinggi, masyarakat desa Malaka tersebut tetap survive menjalankan usaha sebagai pedagang ikan bakar. Ini dikarenakan keahalian yang bersifat genetik yaitu warisan keahlian dari orang tua (keturunan) untuk dapat melanjutkan usaha yang sama di masa yang akan datang. Lebih lanjut, pengolahan ikan bakar di kawasan Nipah tidak beragam melainkan seragam. Keterbatasan pengatahuan, keterbatasan untuk inovasi, kurangnya kesadaran untuk kompetitif adalah penyebabnya, menjadikan usaha ini tidak dapat berkembang secara melejit. Sehingga untuk meningkatkan daya saing industri nasional maupun regional, diperlukan sinergi dan kerja sama yang kuat, antara pemerintah dan stakeholder terkait, mulai dari pelaku usaha hingga pemerintah untuk memberikan stimulus softskill  maupun hardskill.


PERDAGANGAN

Setelah 80 tahun perdagangan nasional diatur oleh produk hukum warisan kolonial belanda bedrijfsreglementerings Ordonnatie (BO) tahun 1934, indonesia akhirnya memiliki undang-undang tentang perdagangan melalui sidang paripurna, 11 februari 2014, DPR menyetujui dan mengesahkan draf rancangan undang-undang perdagangan menjadi undang-undang republik indonesia no. 7 tahun 2014 tentang perdagangan.

Perdagangan ini merupakan representasi dari komitmen besar pemerintah dan DPR untuk menjaga sektor perdagangan nasional agar dapat memberikan daya dorong dan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Dalam kontek ketahanan ekonomi, UU perdagangan ini menjadi salah satu pilar strategis bagi kesinambungan kinerja dan kedaulatan ekonomi nasional. Hal ini sanga jelas dalam pasal 2 (a) yang menyatakan bahwa “kebijakan perdagangan disusun berdasarkan atas kepentingan nasional”. Artinya secara ekplisit kebijakan perdagangan nasional semata-mata ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional. Kepentingan tersebut meliputi pasal-pasal yang memastikan bahwa pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong daya saing perdagangan, melindungi produk dalam negeri, memperluas pasar tenaga kerja, perlindungan konsumen, menjamin kelancaran/ketersediaan barang dan jasa, penguatan ekonomi dan lain sebagainya (Kemendag, 2014). Udang-undang perdagangan terdiri dari 19 bab dan 122 pasal yang membuat fungsi kebijakan, pengaturan dan pengendalian di sektor perdagangan dan diharapkan dapat memacu kinerja sektor perdagangan nasional. Dalam produk hukum, Perdagangan dijelaskan dalam undang-undang no. 7 tahun 2014 bahwa perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi transaksi barang dan atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.

Menteri perdagangan RI Muhammad Lutfi menjelaskan dalam wawancara khusus, bahwa Substansi dari undang-undang perdagangan ini, pertama; implementasi dari cita-cita dan tujuan negara, untuk menyejahterakan seluruh rakyat indonesia. Melalui undang-undang ini, kebijakan perdagangan diputuskan antara pemerintah dan parlemen. Rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan penting tentang kebijkan perdagangan nasional dan perjanjian perdagangan internasional. Keputusan setiap regulasi pemerintah diputuskan bersama dengan parlemen. Kedua; perdagangan ini mengatur segala hal tentang perdagangan dalam negeri, luar negeri, perlindungan konsumen, mengatur UMKM, pasar rakyat dan pasar moder, melibatkan dan mengatur kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah, bahkan menjangkau perdagangan masa depan yang sifatnya virtual hingga  pembentukan komite perdagangan nasional yang amat berperan dalam adyokasi, sosialisasi, dan rekomendasi-rekomendasi. Artinya UU mampu mengakomodasi kondisi perdagangan kekinian dan mangantisipasi perdagangan di masa depan. Ketiga; undang-undang menjadi pondasi awal bagi sinergi dan bangkitnya kekuatan ekonomi nasional di tengah hubungan perdagangan dunia dengan tetap meletakkan secara eksplisit demi kepentingan nasiona. Dengan ketiga substansi prinsip undang-undang perdagangan RI,diharapkan menciptakan harmonisasi perdagangan nasional di era perdagangan bebas dunia.

Disamping itu, undang-undang perdagangan juga dijabarkan dalam Peraturan Presiden Reublik Indonesia nomor 112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern yang terdiri dari 8 bab dan 20 pasal. Melihat regulasi pemerintah dari hulu ke hilir yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi yaitu perdagangan menjelaskan keseriusan pemerintah menjadikan sebagai penopang atau pilar pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional. Mengingat, semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran, dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen.

Walaupun demikian, masih ada beberapa wilayah yang tidak memiliki aturan yang lahir sebagai pelaksanaan undang-undang nomor 7 tahun 2014, yaitu provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dijelaskan dalam penelitin Firmansyah dkk, (2015) bahwa hingga kini belum ada peraturan daerah di NTB yang lahir sebagai pelaksanaan undang-undang nomor 7 tahun 2014 tentang perdagangan. Diperkuat oleh pernyataan kepala Bappeda Lombok Barat, Dr. Baihaqqi dalam firmansyah dkk, (2015) bahwa pengaturan perdagangan ritel modern belum ada landasannya baik di level provinsi maupun daerah. Padahal kebutuhan akan peraturan daerah yang mengatur pemberdayaan dan  perlindungan dalam MEA menjadi kebutuhan hukum yang urgen bagi NTB saat ini. Penjelasan di atas juga menggambarkan keadaan perdagangan di kawasan Nipah Lombok Utara. Sektor perdagangan di kawasan nipah yang terdiri dari 55 kelompok pedagang yang berada disepanjang pinggir jalan kawasan Nipah dan di dalam Kawasan memiliki perbedaan konstruksi bangunan dan fasilitas. Konstruksi bangunan di luar terbuat dari kayu yang memiliki rata-rata 4 lapak dan satu tempat tungku pengapian untuk bakar ikan. Kemudian penjual ikan bakar adalah mayoritas ibu-ibu dan bapak yaitu sepasang suami dan istri yang pendidikan terakhirnya adalah SD. Sedangkan di dalam kawasan dominan bangunan dari bambu yang beratap alang-alang dan memiliki 6-8 lapak. Fasilitas untuk menyimpan ikan adalah box dan rata-rata setiap pedagang memiliki 3 box.

Pedagang ikan bakar di kawasan Nipah memiliki khas dari sudut letak yang strategis sebagai kawasan wisata yang penjualnya adalah desa setempat dan perkumpulan penjual ikan bakar yang tersentra dalam satu kawasan yang memiliki khas rasa ikan bakar menjadi kawasan ini untuk dapat dikunjungi oleh wisatawan. Pemasok ikan bakar adalah para nelayan di desa Malaka kemudian ada beberapa pengempul dari ampenan yang mendistribusikan ikan di kawasan tersebut. Hasil penjualan ikan bakar bergantung dengan jumlah wisatawan yang berkunjung, ketika pengunjung banyak maka kebutuhan akan ikan segar akan meningkat sehingga ada dua pola untuk mendapatkan ikan segar oleh para pedagang ikan, pertam; mendapatkan dari nelayan desa tersebut yang sudah terlembga yaitu kelompok penangkap dan pemasar (Polhaksar), kedua; di dapat dari ampenan dengan membeli langsung menggunakan sampan dan atau kendaraan darat untuk memnuhi kebutuhan pengunjung. Disamping itu, ada sebagian pedagang menggunakan sistem pesan via sms dan telp.


KETENAGAKERJAAN

Ketenagakerjaan di Indonesia memiliki payung hukum sebagai landasan fundamental, asas dan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Himpunan Peraturan Perundangan, 2003). Undang-undang republik indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjelaskan bahwa segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Hal itu berarti setiap individu adalah ketenagakerjaan yang akan menuju fase tenaga kerja. Tenaga kerja adalah Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Definis ini dipertegas oleh MT Rionga dan Yoga dalam Firmansyah ( (2015), tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan, antara lain  mereka yang sudah bekerja, mereka yang sedang mencari pekerjaan, mereka yang bersekolah, dan mereka yang mengurus rumah tangga.

Masa kekinian merupakan masa global. Dulunya hanya barang yang beredar, kali ini yang membanjiri indonesia adalah pencari kerja dari negara-negara ASEAN. Meskipun ancaman itu nyata di depan mata, pemerintah masih terasa santai menghadapinya, indonesia sulit belajar dari kesalahan sebelumnya. Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah karena tenaga kerja indonesia belum siap. Peneliti pada pusat studi ASEAN universitas indonesi, Makmur Keliat, mengkhawatirkan pelaksanaan arus bebas tenaga kerja terampil ASEAN hanya akan menjadikan indonesia sebagai pasar besar bagi tenaga kerja negara-negara ASEAN. Kondisi ini terbuka lebar mengingat indonesia bukanlah penentu Ekonomi ASEAN. Belum lagi ketimpangan sebaran penduduk, tingkat pendidikan, sebaran tenaga kerja terampil,  dan infrastruktur yang masih terpusat di Jawa, tanpa pengaturan penyebaran tenaga kerja yang jelas.

Kondisi ketenagakerjaan indonesia kuartal pertama tahun 2010 jumlah angkatan kerja mencapai 116 juta orang naik 2,26 juta orang dibandingkan kuartal yang sama tahun 2009 yang besarnya 113,74 juta orang. Sedangkan penduduk yang bekerja juga terjadi peningkatan, pada kuartal pertama tahun 2010 mencapai 107,41 juta orang, naik dari kuartal pertama 2009 sebesar 2,92 juta orang yang sebelumnya 104,49 juta orang. Sementara itu, untuk jumlah pengangguran di indonesia pada kuartal pertama 2010 mencapai 8,59 juta orang, atau 7,41% dari total angkatan kerja, turun sekitar 670 ribu orang jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya atau kuartal pertama 2009 yang besarnya 8,14%.

Berdasarkan data dari badan pusat statistik , pada kuartal pertama tahun 2010 sebanyak 33,74 juta pekerja indonesia bekerja pada kegiatan atau sektor formal dan 73,67 juta orang bekerja pada sektor informal. Dari 107,41 orang yang bekerja pada waktu yang sama, status pekerja utama yang terbanyak sebagai buruh atau karyawan yakni mencapai 30,72 juta atau sekitar 28,61 persen, kemudian diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21,92 juta orang atau 20,41 persen dan berusaha sendiri sejumlah 20,46 juta orang atau 19,05 persen sedangkan sisanya adalah berusaha dibantu buruh tetap.


DAYA SAING

Perusahaan yang tidak mempunyai daya saing akan ditinggalkan oleh pasar. Karena tidak memiliki daya saing berarti tidak memiliki keunggulan, dan tidak unggul berarti tidak ada alasan bagi suatu perusahaan untuk tetap survive di dalam pasar persaingan untuk jangka panjang. Malecki, E.J. and Oinas dalam Tarigan  (2009) memberikan definisi, daya saing merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya. Definisi tersebut di elaborasikan lagi oleh European Commission (1999) yang menyatakan,
Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal.
Sedangkan daya saing dari sudut pandang global dapat dilihat dari 12 indikasi (Martin dalam Kementerian Pertanian, 2014) yaitu 1) kelembagaan, 2) infrastruktur, 3) lingkungan makroekonomi, 4) kesehatan dan pendidikan dasar, 5) pendidikan tinggi dan pelatihan, 6) efisiensi pasar barang, 7) efisiensi pasar tenaga kerja, 8) pengembangan pasar keuangan ,9) kesiapan teknologi, 10) ukuran pasar, 11) kecanggihan bisnis dan 12) inovasi. Kemudian, keadaan daya saing indonesia semakin rentan menjadi pasar karena daya saing yang rendah akibat buruknya infrastruktur. Peringkat infrastruktur Indonesia 61, relatif buruk dibandingkan dengan peringkat Thailand (47), Malaysia (29), dan Singapura (2). Dalam efisiensi pasar tenaga kerja, Indonesia ada pada peringkat ke-103. Bandingkan dengan negara lain di ASEAN: Filipina (100), Myanmar (98), Thailand (62), dan Vietnam (56). Tingkat efisiensi pasar tenaga kerja anggota ASEAN lainnya dibawah 50 (Tinjauan Kompas, 2015).

Indonesia juga relatif buruk dalam pendidikan dasar dan kesehatan (72), kelembagaan (67), pelatihan dan pendidikan tinggi (64), pengembangan pasar keuangan (60), ketersediaan teknologi (75, serta efisiensi pasar produk (50). Gambaran daya saing level nasional dapat mendeskripsikan keadaan daya saing tingkat regional yaitu di kabupaten lombok utara provinsi nusa tenggara barat yang masih rendah.

Kawasan Nipah desa Malaka Kecamatan Pemenang memiliki kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni. Ini dapat dilihat dari dominan pendidikan yang memiliki profesi sebagai pedagang adalah pendidikan SD. Didukung lagi oleh keturunan atau anak dari pedagang tersebut dominan pendidikan terakhirnya adalah SMA. Hal ini terjadi karena orang tua kurang memiliki orientasi untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, kesuksesan dan kemanfaatan anak diukur dari kecepatan untuk memiliki penghasilan sebagai usaha membantu orang tua. Terlebih, pedagang ikan bakar di kawasan Nipah memiliki perspektif yang baik kedepannya dengan melihat jumlah pengunjung yang datang. Walaupun demikian, tanpa pendidikan yang tinggi, masyarakat desa Malaka tersebut tetap survive menjalankan usaha sebagai pedagang ikan bakar. Ini dikarenakan keahalian yang bersifat genetik yaitu warisan keahlian dari orang tua (keturunan) untuk dapat melanjutkan usaha yang sama di masa yang akan datang. Lebih lanjut, pengolahan ikan bakar di kawasan Nipah tidak beragam melainkan seragam. Keterbatasan pengatahuan, keterbatasan untuk inovasi, kurangnya kesadaran untuk kompetitif adalah penyebabnya, menjadikan usaha ini tidak dapat berkembang secara melejit. Sehingga untuk meningkatkan daya saing industri nasional maupun regional, diperlukan sinergi dan kerja sama yang kuat, antara pemerintah dan stakeholder terkait, mulai dari pelaku usaha hingga pemerintah untuk memberikan stimulus softskill  maupun hardskill.


INFRASTRUKTUR

Infrastruktur merupakan prasarana publik primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Pembangunan infrastruktur adalah merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah. Keberadaan infrastruktur sangat penting bagi pembangunan, sehingga pada fase awal pembangunan disuatu negara hal tersebut akan dipikul sepenuhnya oleh Pemerintah yang dibiayai dari APBN murni (digilib.its.ac.id). Menurut Grigg (1988) infrastruktur merupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Pengertian ini merujuk pada infrastruktur sebagai suatu sistem. Dimana infrastruktur dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan prasarana (jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Pentingnya ketersediaan infrastruktur tersebut membuat Pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk menyediakan infrastruktur tersebut membutuhkan suatu dana yang sangat besar untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang menyeluruh dan berkesinambungan. Ironisnya, bahwa kemampuan pemerintah untuk menyediakan dana untuk menyediakan infrastruktur jauh dari kata cukup. Sebagai gambaran Pemerintah memiliki target pembiayaan infrastruktur selama tahun 2009-2014 (untuk memenuhi Millenium Development Goal pada tahun 2015) adalah sebesar kurang lebih 1400 triliun rupiah, sementara kemampuan pendanaan Pemerintah sendiri melalui APBN selama 5 tahun diprediksikan hanya mencapai sekitar 400 triliun rupiah, Dari hal tersebut dapat dilihat sebuah financial gap yang cukup besar, yaitu sekitar 1000 triliun rupiah. Dalam hal ini diharapkan peran swasta untuk menutup financial gab yang besar tersebut, melalui berbagai skema Kemitraan Pemerintah dengan Swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (KPPOD, 2012).

Public-private partnership dapat digambarkan pada sebuah spektrum dan kemungkinan hubungan-hubungan antara public dan private actors untuk bekerjasama dalam pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada hubungan ini adalah inovasi, kemudahan keuangan, kemampuan pada ilmu teknologi, kemampuan pada pengaturan efisiensi, semangat enterpreneurship, yang dikombinasikan dengan tanggung jawab sosial, kepedulian pada lingkungan, dan pengetahuan dan budaya lokal.

Di tingkat daerah, alokasi anggaran untuk infrastruktur terus meningkat, namun temuan studi KPPOD memperlihatkan bahwa peningkatan anggaran tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas infrastruktur. Korupsi dipandang sebagai biang keladi dari ketidaksinkronan antara peningkatan anggaran dengan kualitas infrastrukur. Berbagi macam perbincangan tentang urgensi infrastruktur yang menjadi eskalator pertumbuhan ekonomi disertai dengan perbaikan seluruh elemen ekonomi, sosial masyarkat. Maka, melalui peraturan Presiden Republik Indonesia nomor  38  tahun  2015 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur diharakan, meningkatkan perekonomian nasional, menyejahterakan masyarakat, dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam persaingan global dengan menciptakan iklim investasi, mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dan layanan berdasarkan prinsip-prinsip usaha yang sehat. Sehingga diperlukan pengaturan guna melindungi dan menjaga kepentingan konsumen, masyarakat, dan badan usaha secara berkeadilan.

Dari sudut pandang regional yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Barat, infrastruktur  perdagangan  tidak memiliki masalah yang berarti, jalan, pelabuhan udara, pelabuhan laut sudah memadai, yang sekarang menjadi tantangan adalah ketersediaan pelabuhan internasional yang dapat menjadi pelabuhan hub untuk menghubungkan produk NTB dengan pasar internasional (Firmansyah dkk, 2015). Rencana gubernur menjadikan kabupaten lombok utara sebagai pelabuhan internasional  merupakan sebuah kebutuhan yang tepat saat ini. Sehingga bukan keniscayaan untuk dapat berperan aktif dan menjadi pemain dalam era global terlebih menyongsong Indonesia emas 2045. Namun demikian yang menjadi perhatian masalah infrastruktur ditingkat desa atau district. Berdasarkan hasil observasi penelitian di kawasan Nipah lombok utara menunjukkan adanya permasalahan infrastruktur yang menghambat pembangunan seperti; Jalan di kawasan perdagangan belum menggunakan aspal, tidak ada pelabuhan kecil, tidak ada kilang minyak, dan lembaga pembiayaan yang menunjang kebutuhan usaha. Padahal kawasan Nipah memiliki potensi untuk berkembang dan menjadi pusat aglomerasi ekonomi dengan memanfaatkan kekayaan lokal dimiliki, pantai yang mempesona, wisata pegunungan yang indah dan sentra perdagangan strategis kemudian di dukung oleh mayoritas pekerjaan penduduk setempat adalah nelayan.